Selasa, 15 Desember 2015


Asal Usul Desa Sumberdukun



 
Kurang lebih 3 Km arah selatan kota Magetan, terdapat sebuah desa cukup maju dengan kelengkapan-kelengkapan sarana serta prasarana kebutuhan masyarakat setepat, khususnya sarana transportasi,sarana penerangan,serta sarana air sebagai kebutuhan pokok sehari-hari. Meskipun hidup masyarakat telah meningkat seirama kemajuan teknologi seperti yang kita rasakan dewasa ini, namun mereka tetap mempertahanknan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh leluhurnya. Hal ini bagi mmereka semata-mata untuk memperkuat jati diri sebagai bangsa Timur yang terkenal berbudaya tinggi. Tidak mengherankan apabila masyarakat desa pinggiran kota Magetan ini memiliki unggah-ungguh, sopan santun, tepa selira, serta perilaku-perilaku terpuji lainnya karena mereka memang masih sangat kental terhadapbudaya yang dipegang teguh oleh nenek moyangnya.
            Itulah desa Sumberdukun, yang dibatasi oleh desa-desa sekelilingnya: 
Sebelah Utara               : desa Ringinagung                                                                             
Sebelah Timur               : desa Balegondo                                                                
Sebelah Selatan            : desa Baleasri                                                                           
Sebelah Barat               : desa Selopanggung
            Bagaimana asal-usul desa Sumberdukun yang terletak dilintas jalan protokol antara kota Madiun dengan Sarangan lewat jalur Selatan ini, para sesepuh terdahulu menuturkan sebagai berikut:                                                                                 Desa Sumberdukun terdiri atas 3 dukuh, yakni dukuh Juron, dukuh Gentan dan dukuh Dakutah. Ceritera tentang dukuh-dukuh ini cukup menarik:
Ø  DUKUH JURON
Yang babad daerah ini pertama kali adalah seorang punggawa masa raja-raja terdahulu yang bertugas sebagai juru playangan (orang yang tugasnya mengantar surat atau menghantarkan/menyebarkan pengumuman-pengumuman). Punggawa itu mengaku  bernama Ki Ageng Surohadipo. Emreka sangat arif, bijaksana serta baik perilakunya. Mereka suka menolong terhadap siapaun yang sedang mengalami kesulitan. Karena perilaku juru playangan yang terpuji itu. Penduduk merasa berhutang budi, dan Ki Ageng Surohadipo diangkat menjadi penguasa didaerah itu dan sekitarnya. Karena itu untuk memberi penghargaan serta mengenang jasa baik mereka, daerah tempat juru playangan itu dinamakan JURON(dari kata juru atau tempat tinggal juru). Sama halnya dengan tempat bekerja Camat disebut Kecamatan. Tempat bekerja Wedana disebut Kawedanan. Akhirnya daerah itu menjadi dukuh Juron sampai sekaraang ini. Namun setelah meninggal dunia tidak diketahui dimana mereka dimakamkan.

Ø  DUKUH GENTAN
Masa silam waktu kawasan ini masih mirip hutan dan belum banyak penghuninya, merupakan salah satu tempat para “gentho” (orang yang suka merampas dan mencuri harta benda orang lain). Apakah penduduk dukuh Gentan sekarang ini merupakan keturunan para gentho tersebut? Tidak. Generasi para gentho masa lalu telah musnah dan generasi sekarang adalah generasi yang memiliki perilaku baik dan khusuk terhadap agama Islam. Dahulu dukuh Gentan ini pernah didatangi oleh pawingan dari Jawa Tengah yakni dari daerah Mataram, bernama Kyai Muhammad Jenal Ali. Pekerjaan mereka memberi tuntunan agama Islam kepada penduduk yang tempat tinggalnya dilewati. Pendatang ini memiliki kawaskisthan yang tinggi. Selain memiliki ilmu keagamaan juga memiliki ilmu-ilmu kerohanian serta ilmu-ilmu kadibyan yang lain. Ilmu-ilmu itupun diberikan kepada penduduk daerah yang didatangi. Atas kesepakatan warga setempat, Kyai Muhammad Jenal Ali diangkat menjadi penguasa daerah tersebut. Dan setelah meninggal dunia juga tidak diketahui dimana makam mereka. Daerah ini oleh penghuni setempat dunamakan GENTAN karena merupakan tempat tinggal para gentho dan akhirnya daerah itu menjadi dukuh Gentan sampai sekarang ini.

Ø  DUKUH DAKUTAH
Asal-usul nama tersebut juga erat hubungannya dengan kawaskhitan pendatang dari Mataram yang bernama Kyai Muhammad Jenal Ali. Pendatang yang “jajah desa Milangkori” dan singgah di duku Gentan tadi melanjutkan perjalanannya ke arah Utara. Mereka melalui daerah yang penuh tanaman padi. Disana-sini kelihatan padi menguning dan bahkan banyak yang telah ditunai. Sewaktu pendatang itu memasuki daerah pemukiman penduduk, sepanjang jalan yang dilewati banyak berceceran kulit padi (dalam Bahasa Jawa disebut dhedhak). Rupa-rupanya pembawa kulit padi itu tidak mengetahui jika dhedhak yang dibawanya banyak berjatuhan dan tercecer sepanjang jalan. Karena banyaknya kulit padi atau dhedhak yang berjatuhan atau bahasa Jawa “kutah”, maka pendatang tersebut memberi nama daerah yang dilewati ituDAKUTAH (dari kata dhedhak dan kutah). Akhirnya daerah itu menjadi dukuh Dakutah sampai sekarang ini.

Sedang desa Sumberdukun itu sendiri memiliki kisah yang cukup mengesankan. Dahulu kala waktu desa ini belum maju seperti sekarang ini dan keadaannya masih seperti hutan, serta baru beberapa penghuni yang bermukim di daerah tersebut. Rumah- rumah kecil berdiri disela-sela pepohonan besar. Sarana untuk keperluan hidup sehari-hari seperti air dan sebagainya sulit didapat. Diantara penduduk yang menghuni rumah-rumah tersebut adalah dukun bayi dengan seorang pembantunya.
            Pada suatu ketika, ada seorang warga yang hendak melahirkan anak. Tetapi mbah dukun mengalami kesulitan. Yakni air yang sangat diperlukan tidak ada. Memang kebutuhan air di daerah tersebut pada waktu itu sangat sulit didapat. Sambil membantu lahirnyab si bayi, mbah dukun tak henti-hentinya berpikir bagaimana cara memperoleh air. Padahal pembantunya sudah berusaha mencari air kemana-mana tetapi belum juga berhasil.
            Pada suatu hari mbah dukun mempunyai gagasan baru untuk memperoleh air yang sangat diperlukan itu. Mereka pergi kesawah yang letaknya di sebelah Barat dukuh Juron. Di sawah itu mbah dukun bayi mencoba menggali tanah sawah yang juga dalam keadaan kering. Biarpun dirinya seorang perempuan, tidak canggung-canggung menggali tanah sawah untuk memperoleh air yang sangat dibutuhkan oleh penduduk daerah itu. Sedikit demi sedikit tanah sawah itu digali dan dilubangi. Dan akhirnya usaha mbah dukun bayi ini tidak sia-sia. Apa yanng terjadi? Ternyata dari dalam tanah yang digali itu keluar air. Meskipun air yang keluar dari lubang tanah yang digali itu tidak besar, namun dapat membantu mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat setempat. Air yang keluar dari lubang tak kunjung berehenti dan betul-betul merupakan sumber air. Dukun bayi dan masyarakat setempat sangat gembira dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah serta Maha Pengasih atas barokhah yang diberikan kepadanya. Demikian senangnya warga kawasan itu dan demikian besarnya penghargaan mereka terhadap perjuangan mbah dkun bayi ini, sehingga merek selalu berucap “Apabila butuh air, ambillah disumber buatan mbah dukun ”.
            Berita tentang adanya sumber baru buata mbah dukun ini terdengar oleh penduduk pemukiman lainnya, sehingga mereka banyak yang datang untuk menyaksikan kebenaran berita itu, abkan penduduk sekeliling yang kekurangan air berduyun-duyun datang ketempat itu untuk mengambil air dari sumber buatan mbah dukun. Air sumber itu dirasakan oleh penduduk setempat dan sekelilingnya sangat nyaman dan segar berbeda dengan rasa air yang diperoleh dari tempat lain. Ini merupakan suatu keajaiban tersendiri. Keajaban lain yang dirasakan oleh penduduk setempat pada waktu itu adalah, barang siapa yang menderita sakit dan minum air sumber buatan mbah dukun itu sakitnya dapat sembuh.
            Karena jasa mbah dukun membuat sumber yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat setempat dan sekelilingya ini, maka penduduk setempat sepakat memberi nama kawasan pemukiman itu SUMBERDUKUN. Yakni dari kata Sumber dan Dukun. Akhirnya menjadi nama desa Sumberdukun sampai sekarang ini.
            Sumber itu sampai sekarang masih ada, berada ditepi sungai dan masih difungsikan oleh penduduk setempat serta penduduk sekeliling desa Sumberdukun, sebagai tandon air. Disamping itu, sumber tersebut juga dianggap sebagai “pundhen” desa Sumberdukun. Dahulu setiap tahun pada bulan Suro, penduduk dukuh Juron khusunya mengadakan upacara tradisional berupa Bersih Desa di sumber itu dengan membersihkan sumber tersebut (Jw. Nguras sumber) atau duk beji. Kotoran-kotoran yang ada didalamnya diangkat sehingga sumber itu kembali bersih. Ubarampe sesaji sebagaimana kebiasaan setiap tahun, termasuk menyembelih kambing dan dimasak disumber itu. Maksud bersih desa ini adalah sebagai wujud syukur penduduk desa setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kebahagiaan kepadanya. Selain itu permohonan keselamatan terhadap seluruh warga desa. Sekaligus mengenang jasa mbah dukun yang mewujudkan sumber itu masa lalu.
            Yang menarik sampai sekarang terhadap desa Sumberdukun adalah, bahwa didesa ini selalu ada orang yang memiliki kepintaran sebagai seorang dukun. Misalnya dukun bayi, dukun pijat, pujangga atau kepintaran lain yang sejenis. Ibarat patah tumbuh hilang berganti. Dukun yang satu meninggal, muncul dukun baru sebagai penggantinya.
            Secara berturut-turut pejabat yang menjadi Kepala Desa Sumberdukun yang diketahui adalah:
1.      Ki Ageng Surohadipo                       : -
2.      Kyai Muhammad Jenal Ali   :-
3.      Mangun Astro (kurang jelas)            : -
4.      Siranom                                             : ...-1943
5.      Kasan Sarbi                                       : 1943-1983
6.      Suratno                                             : 1983-1991
7.      Yasir                                                 : 1991-1999
8.      Slamet                                               : 1999-2007
9.      Sarmo                                                : 2007-2013
10.  Kamto                                               :  2013-sekarang

Sumber: Buku karya Drs. Soetarjono 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar